Macan dan Kiai
Terlihat
dari kiai Fauzi lipatan kulit kening dengan menarik mata kearah atas. Mata
beliau tidak henti-hentinya melirik ke kiri dan kanan. Kedua tangan beliau
seperti ingin meraih sesuatu. Para santri yang sedang beristirahat di aula
pesantren terbangun, mereka ketakutan dengan tingkah aneh kiai Fauzi. Ada satu
santri yang bergegas menuju keluar, sepertinya dia menuju koperasi pondok.
Biasanya
ketika kiai Fauzi sedang butuh sesuatu, kang Amirlah orang pertama yang akan
dicari. Dia adalah abdi ndalem kiai, santri yang paling dekat dengan beliau.
Semua santri di pesantren Al Furqon kenal dengan kang Amir. Santri lain yang
berada di aula pesantren kebingungan melihat tingkah kiai Fauzi, mereka masuk
ke beberapa kamar yang berada dekat dengan aula, meski tidak kamar mereka
masing-masing. Santri yang sedang istirahat biasanya hanya mengenakan sarung
dan kaos oblong, terkadang ada pula yang hanya memakai sarung saja.
Santri
yang tadi keluar menemui kang Amir datang. Tetapi kang Amir tidak terlihat bersamanya,
santri tadi lantas masuk ke kamar paling ujung yang dekat dengan gerbang
pesantren. Sementara itu kai Fauzi kini sudah berada di depan tangga menuju
lantai dua. Tiba-tiba pintu rumah kiai Fauzi yang dekat dengan tangga terbuka.
Ternyata kang Amir yang muncul.
“Maaf kiai, ada apa?” tanya kang Amir.
“ini
cah bagus, di serambi masjid ada macan” jawab kiai Fauzan kepadaku.
“Masyaallah,
nanti saya usir kiai” sahut kang Amir.
“Jangan
terlalu kasar ya gus” pinta kiai Fauzan.
Sepertinya
kiai Fauzan tidak ingin menyakiti macan tersebut. Begitulah beliau, menganggap
semua ciptaan tuhan perlu mendapat kasih sayang, bahkan seekor macan. Aku yang
mendengar perbincangan tersebut terheran, apa ada harimau lapar yang turun
gunung. Jarak dari puncak gunung dan pesantren ini sangatlah jauh. Memakai
kendaraan saja bisa sampai tiga puluh menit perjalanan. Anehnya lagi harimau
tersebut berada di serambi masjid, bukan pekarangan warga atau kandang ternak.
Kang
Amir terlihat memasuki kamar yang dekat dengan pintu gerbang pesantren. “Ali,
ayo ikut aku” aku segera mengambil peci dan kaos, merapikan sarung. “Ajak
beberapa santri” imbuh kang Amir. Somad dan Guntur aku ajak untuk ikut serta,
kedua santri tersebut memiliki tubuh tinggi dan lumayan kuat jika untuk
menghadapi macan. “kang, kita mau diajak kemana” tanya Somad, “mengusir macan”
jawabku pendek.
Keempat
santri Al Furqon itu membawa tali dan kayu. Rencananya kang Amir yang bertugas
mengalihkan perhatian macan tersebut. Sedangkan ketiga santri lain mengambil
kesempatan untuk mengikat dari belakang. Sampai di tempat wudlu, keempat santri
tersebut berpisah, kang Amir mengambil jalan lurus langsung menuju serambi
masjid, sedangkan Ali, Somad, dan Guntur lewat tempat wudlu.
Kang
Amir yang sampai duluan di serambi masjid, terlihat bingung. Dia mencari dimana
macan itu bersembunyi, matanya mengamati setiap sudut yang ada di serambi
masjid tersebut. Hanya ada satu orang laki-laki yang sedang tidur di bawah
bedug. Ali, Somad, dan Guntur yang datang dengan mengendap-endap. Terheran-heran
dengan laki-laki yang sedang tidur di bawah bedug. Kalau dari tempat wudlu,
bedug merupakan yang pertama kali orang lihat jika selesai berwudlu.
“Kang,
macannya dimana?” tanya Guntur, “entahlah, kiai Fauzan dawuh jika ada di
serambi masjid” jawab kang Amir. Keempat santri tersebut lantas duduk bersila
di dekat laki-laki yang sedang tidur. Mereka tidak berani membangunkan orang
itu. “sekalian asharan disini saja kang” usul Ali kepada kang Amir,
“koperasinya bagaimana?” jawab Amir, “tadi sudah dipasrahkan” sahut Guntur,
“yasudah sekalian nunggu kiai Fauzan disini” tegas Amir.
Sebentar
setelah adzan dikumandangkan datang kiai Fauzan. Keempat santri tersebut
kemudian bersalaman dan mencium punggung tangan beliau. “maaf kiai, saya dan
yang lain tidak menemukan macan di Masjid” kata Amir membuka pembicaraan.kiai
Fauzan terdiam sejenak, beliau sedang memperhatikan sekitar, tidak ada yang
aneh pada sore itu. Seperti biasanya santri berdatangan untuk menunaikan ibadah
salat ashar. “itu macannya gus” jawab kiai Fauzan sambil menunjuk kesalah
seorang jamaah. Keempat santri tersebut dibuat keheranan lgi oleh orang
dihadapannya. Ternyata orang yang tadi sedang tidur di bawah bedug yang
ditunjuk kiai Fauzan.
Keempat
santri tadi hanya diam mendengar jawaban sang kiai. Tidak berani berkomentar
ataupun bertanya kepada kiai Fauzan. “ayo jamaah, adzannya sudah selesai” ajak
kiai Fauzan kepada santrinya.
Setelah
salat dan dzikir selesai, kiai Fauzan memanggil keempat santri tadi. Kiai
Fauzan meminta agar orang yang tadi dianggap sebagai macan untuk sowan ke ndalem
beliau. “kiai aneh-aneh saja ya kang” bisik Somad kepada Ali, “hush, jangan
banyak komentar manut saja apa yang diperintahkan kiai” jawab Ali, “beliau itu
orang yang mempunyai makrifat” sahut Amir, “ini sudah yang ketiga kalinya saya
melihat beliau bertingkah aneh seperti ini, pernah suatu ketika saya mengantar beliau
ke salah satu pengajian, di tengah perjalanan beliau minta berhenti di pom
bensin, kemudian beliau berganti pakaian layaknya orang biasa, sayapun tidak
menyangka bahwa bungkusan plastik yang saya bawa isinya pakaian, ternyata
sesampainya di lokasi, masyarakatnya dari kalangan orang abangan, yang tidak
suka akan kehadiran kiai. Dimata mereka kiai adalah orang yang sok suci,
terlebih lagi ketika saya berbincang dengan ketua panitia, dia sendiri pesimis
bahwa pengajian ini akan diterima oleh masyarakat” cerita Amir.
“oh
begitu ya kang?” tanya Somad, “saya tidak bisa membayangkan jika beiau memakai
pakaian layaknya kiai besar, pasti akan dihadang sebelum sampai di desa tempat pengajian itu” jawab Amir. Sekitar
lima menit keempat santri tersebut menunggu “macan” menyelesaikannya berdoa.
Mereka menghampirinya dan menyampaikan apa yang dikatakan kiai Fauzan,
diketahui nama orang tersebut adalah Mahfud, dia berasal dari Rembang.
Saya
sebagai abdi ndalem kiai Fauzan mengatarkan Mahfud sowan. Setelah
mempersilahkan duduk, saya matur kepada kiai, bahwa “macan” tadi sudah
berada di ruang tamu. Kemudian saya disuruh untuk membuatkan minuman untuk
Mahfud.
Ketika
saya menyuguhkan minuman, saya mendengar kiai Fauzan berkata “pulang saja, kamu
tidak membutuhkan pesantren ini”. Lagi-lagi kiai Mahfud mengatakan hal yang
aneh, saya hanya dapat berlalu setelah mengatarkan minuman untuk Mahfud, karena
saya masih punya tanggung jawab menjaga koperasi.
***
“kenapa
saya tidak boleh “nyantri” disini kiai?” tanya Mahfud. “karena kamu tidak membuuthkannya”
jawab kiai Fauzan. Dengan wajah tenang beliau berulang kali mengatakan agar
Mahfud pulang saja, sebelum di ruang tamu, kiai Fauzan pernah bertemu dengan
Mahfud di serambi masjid tadi pagi. Kiai Fauzan mengatakan bahwa dia harus
pulang, karena Mahfud tidak mengetahui bahwa orang yang tadi pagi berbicara
dengannya adalah pengasuh pondok pesantren yang dia tuju, maka Mahfud hanya
tidak menghiraukan omongan kiai Fauzan. Dia malah beriktikaf di masjid.
“apakah
disini sudah tidak ada kamar kosong kiai? Saya tidak apa-apa tidur di masjid, asalkan
bisa ikut ngaji kepada kiai” jawaban sekaligus pertanyaan Mahfud atas perintah
kiai Fauzan. “bukan itu alasannya, kamu itu “macan”, jadi santri lain akan
takut dan kabur jika melihat kamu” kiai Fauzan memberikan alasan. Mahfud hanya
diam mengernyitkan keningnya, tidak mengerti kenapa bisa dikatakan macan.
Padahal mahfud adalah seorang laki-laki yang bertubuh kurus, berpotongan rambut
rapi. Dia terlihat seperti laki-laki yang lugu dan polos.
Kiai
Fauzan keluar, beliau memanggil salah satu santri yang berada di aula. Beliau
meminta untuk dipanggilkan Amir. Setelah Amir berada dihadapan kiai Fauzan dan
Mahfud, Amir diminta untuk mengantarkan Mahfud pulang sampai di rumahnya. Tidak
lupa kiai Fauzan memberi beberapa lembar ratus ribuan untuk ongkos perjalanan
merka berdua.
Sebelum
berangkat Amir diberi pesan oleh kiai Fauzan untuk mengatakan kepada orang tua
Amir agar Mahfud dipondokan di pesantren kiai Arwani Kudus. Mahfud terlihat
kecewa karena dia tidak diterima oleh kiai Fauzan, tidak ada yang mengetahui
maksud dari kiai Fauzan. Beliau bahkan tidak pernah berkunjung ke Kudus.
Sepanjang
perjalanan Amir dan Mahfud jarang berbicara. Amir tahu sebagai seorang yang
ingin menuntut ilmu, tetapi tidak diperbolehkan langsung oleh pengasuhnya tanpa
alasan yang jelas akan membuat bingung dan kecewa siapapun orangnya. Mereka
berdua hanya hanyaut dalam lamunannya, langit yang tiba-tiba menjadi kelabu
ketika memasuki kota Semarang membuat suasana diantara kedua santri tersebut
tambah dingin.
Akhirnya
ketika bus sampai di kota Kudus, Amir membuka obrolan. “kiai saya memang
orangnya seperti itu kang, beliau seperti punya rencana lain untuk kamu”, kata
Amir, “rencana apa?” tanya Mahfud, “sayapun tidak tahu” Amir sambil
menggelengkan kepala, “sudah lakukan dulu saja, insyaallah nanti kamu mendapat
jawabannya” imbuh Amir. Setelah itu suasana kembali dingin, seperti kedaan di
luar bus yang tersiram air hujan.
Jalanan
terlihat kering ketika laju bus melewati perbatasan Pati-Rembang. Berarti
sebentar lagi mereka akan sampai di tujuan. Amir tidak memperhatikan Mahfud,
dia ternyata tertidur, karena Amir tidak mengetahui akan turun dimana, Amir
membangunkan Mahfud.
Meski
masih agak mengkantuk, Mahfud mengatakan pada Amir agar nanti berhenti di
daerah Sluke, di depan Indomart. Jarak mereka masih lumayan jauh dari daerah
Sluke, namun Amir sudah mengatakan pada kernet bus untuk diturunkan di tempat
yang dimaksud. Dengan begitu mereka nanti akan diingatkan oleh kernetnya jika hampir sampai.
***
Seminggu
setelah Mahfud diantarkan pulang oleh Amir, kiai Fauzan mengajak Amir untuk
menunjukan jalan ke rumah Mahfud. Mungkin ini kenapa kemarin kiai memerintahkan
saya untuk mengantarkan Mahfud pulang ke rumahnya, pikir Amir. Apalagi yang
akan dikatakan beliau kepada Mahfud di rumahnya sendiri, sedangkan hanya tiga
orang yang kesana. Kiai Fauzan, Amir, dan Rohmat supir kiai Fauzan.
Perjalanan
Magelang-Rembang memerlukan waktu yang lumayan lama, setelah kurang lebih enam
jam perjalanan rombongan kiai Fauzan sampai di rumah Mahfud. Kiai Fauzan
menanyakan keberadaan Mahfud, diketahui setelah diantarkan pulang oleh Amir,
keesokan harinya Mahfud berangkat menuju pesantran kiai Arwani Kudus. Kiai
Fauzan tersenyum, beliau mengatakan “dia adalah macan”, orang tua Mahfud tidak
kaget, mereka berdua bingung, karena sebelumnya mahfud telah menceritakan
perihal itu.
“Maksudnya
bagaimana kiai?” ayah Mahfud memina penjelasan, “Mahfud kelak mencani seorang
ulama besar, keberanian dan kecerdasannya seperti seeokar macan, dia akan
menjadi pemimpin ulama di daerah Jawa Tengah, bahkan Indonesesia” terang kiai
Fauzan. “kenapa kiai tidak mau menerima putra kami menjadi santri panjenengan
kiai?” tanya ibu Mahfud, “kiai yang pas untuknya adalah kiai Arwani, dalam
mimpi saya beliaulah yang menjadi pawang dari macan tersebut, kelak suatu saat
Mahfud akan datang lagi ke Magelang” jawab kiai Fauzan, “untuk apalagi kiai? Apakah
untuk mondok di tempat kiai?” tanya ayah Mahfud, “saya tidak tahu untuk apa,
tunggu saja nanti, kalian akan mendapat jawabannya sendiri” jawab kiai Mahfud.
Setelah berbincang cukup lama, kiai Fauzan berpamitan, orang tua Mahfud mencoba
menawarkan agar mereka menginap terlebih dahulu, besok baru pulang ke Magelang.
Untuk menghormati orang tua Mahfud, kiai Fauzan mengiyakan penawaran itu.
Esok
harinya kiai Fauzan pulang ke rumah setelah mengucapkan terima kasih dan
berpamitan kepada keluarga Mahfud. Terlihat wajah yang berbeda dari orang tua
Mahfud, wajah mereka terlihat seperti awan biru di langit, berbeda dengan
kemarin, yang terlihat seperti mendung degan petir menyambar.
Catatan :
Terinspirasi cerita
KH. Wahab Hasbullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar