Kamis, 10 Februari 2022

Macan dan Kiai

By : Muhammad Hasan Shiddiq

Macan dan Kiai

Terlihat dari kiai Fauzi lipatan kulit kening dengan menarik mata kearah atas. Mata beliau tidak henti-hentinya melirik ke kiri dan kanan. Kedua tangan beliau seperti ingin meraih sesuatu. Para santri yang sedang beristirahat di aula pesantren terbangun, mereka ketakutan dengan tingkah aneh kiai Fauzi. Ada satu santri yang bergegas menuju keluar, sepertinya dia menuju koperasi pondok.

Biasanya ketika kiai Fauzi sedang butuh sesuatu, kang Amirlah orang pertama yang akan dicari. Dia adalah abdi ndalem kiai, santri yang paling dekat dengan beliau. Semua santri di pesantren Al Furqon kenal dengan kang Amir. Santri lain yang berada di aula pesantren kebingungan melihat tingkah kiai Fauzi, mereka masuk ke beberapa kamar yang berada dekat dengan aula, meski tidak kamar mereka masing-masing. Santri yang sedang istirahat biasanya hanya mengenakan sarung dan kaos oblong, terkadang ada pula yang hanya memakai sarung saja.

Santri yang tadi keluar menemui kang Amir datang. Tetapi kang Amir tidak terlihat bersamanya, santri tadi lantas masuk ke kamar paling ujung yang dekat dengan gerbang pesantren. Sementara itu kai Fauzi kini sudah berada di depan tangga menuju lantai dua. Tiba-tiba pintu rumah kiai Fauzi yang dekat dengan tangga terbuka. Ternyata kang Amir yang muncul.

“Maaf kiai, ada apa?” tanya kang Amir.

“ini cah bagus, di serambi masjid ada macan” jawab kiai Fauzan kepadaku.

“Masyaallah, nanti saya usir kiai” sahut kang Amir.

“Jangan terlalu kasar ya gus” pinta kiai Fauzan.

Sepertinya kiai Fauzan tidak ingin menyakiti macan tersebut. Begitulah beliau, menganggap semua ciptaan tuhan perlu mendapat kasih sayang, bahkan seekor macan. Aku yang mendengar perbincangan tersebut terheran, apa ada harimau lapar yang turun gunung. Jarak dari puncak gunung dan pesantren ini sangatlah jauh. Memakai kendaraan saja bisa sampai tiga puluh menit perjalanan. Anehnya lagi harimau tersebut berada di serambi masjid, bukan pekarangan warga atau kandang ternak.

Kang Amir terlihat memasuki kamar yang dekat dengan pintu gerbang pesantren. “Ali, ayo ikut aku” aku segera mengambil peci dan kaos, merapikan sarung. “Ajak beberapa santri” imbuh kang Amir. Somad dan Guntur aku ajak untuk ikut serta, kedua santri tersebut memiliki tubuh tinggi dan lumayan kuat jika untuk menghadapi macan. “kang, kita mau diajak kemana” tanya Somad, “mengusir macan” jawabku pendek.

Keempat santri Al Furqon itu membawa tali dan kayu. Rencananya kang Amir yang bertugas mengalihkan perhatian macan tersebut. Sedangkan ketiga santri lain mengambil kesempatan untuk mengikat dari belakang. Sampai di tempat wudlu, keempat santri tersebut berpisah, kang Amir mengambil jalan lurus langsung menuju serambi masjid, sedangkan Ali, Somad, dan Guntur lewat tempat wudlu.

Kang Amir yang sampai duluan di serambi masjid, terlihat bingung. Dia mencari dimana macan itu bersembunyi, matanya mengamati setiap sudut yang ada di serambi masjid tersebut. Hanya ada satu orang laki-laki yang sedang tidur di bawah bedug. Ali, Somad, dan Guntur yang datang dengan mengendap-endap. Terheran-heran dengan laki-laki yang sedang tidur di bawah bedug. Kalau dari tempat wudlu, bedug merupakan yang pertama kali orang lihat jika selesai berwudlu.

“Kang, macannya dimana?” tanya Guntur, “entahlah, kiai Fauzan dawuh jika ada di serambi masjid” jawab kang Amir. Keempat santri tersebut lantas duduk bersila di dekat laki-laki yang sedang tidur. Mereka tidak berani membangunkan orang itu. “sekalian asharan disini saja kang” usul Ali kepada kang Amir, “koperasinya bagaimana?” jawab Amir, “tadi sudah dipasrahkan” sahut Guntur, “yasudah sekalian nunggu kiai Fauzan disini” tegas Amir.

Sebentar setelah adzan dikumandangkan datang kiai Fauzan. Keempat santri tersebut kemudian bersalaman dan mencium punggung tangan beliau. “maaf kiai, saya dan yang lain tidak menemukan macan di Masjid” kata Amir membuka pembicaraan.kiai Fauzan terdiam sejenak, beliau sedang memperhatikan sekitar, tidak ada yang aneh pada sore itu. Seperti biasanya santri berdatangan untuk menunaikan ibadah salat ashar. “itu macannya gus” jawab kiai Fauzan sambil menunjuk kesalah seorang jamaah. Keempat santri tersebut dibuat keheranan lgi oleh orang dihadapannya. Ternyata orang yang tadi sedang tidur di bawah bedug yang ditunjuk kiai Fauzan.

Keempat santri tadi hanya diam mendengar jawaban sang kiai. Tidak berani berkomentar ataupun bertanya kepada kiai Fauzan. “ayo jamaah, adzannya sudah selesai” ajak kiai Fauzan kepada santrinya.

Setelah salat dan dzikir selesai, kiai Fauzan memanggil keempat santri tadi. Kiai Fauzan meminta agar orang yang tadi dianggap sebagai macan untuk sowan ke ndalem beliau. “kiai aneh-aneh saja ya kang” bisik Somad kepada Ali, “hush, jangan banyak komentar manut saja apa yang diperintahkan kiai” jawab Ali, “beliau itu orang yang mempunyai makrifat” sahut Amir, “ini sudah yang ketiga kalinya saya melihat beliau bertingkah aneh seperti ini, pernah suatu ketika saya mengantar beliau ke salah satu pengajian, di tengah perjalanan beliau minta berhenti di pom bensin, kemudian beliau berganti pakaian layaknya orang biasa, sayapun tidak menyangka bahwa bungkusan plastik yang saya bawa isinya pakaian, ternyata sesampainya di lokasi, masyarakatnya dari kalangan orang abangan, yang tidak suka akan kehadiran kiai. Dimata mereka kiai adalah orang yang sok suci, terlebih lagi ketika saya berbincang dengan ketua panitia, dia sendiri pesimis bahwa pengajian ini akan diterima oleh masyarakat” cerita Amir.

“oh begitu ya kang?” tanya Somad, “saya tidak bisa membayangkan jika beiau memakai pakaian layaknya kiai besar, pasti akan dihadang sebelum sampai di desa  tempat pengajian itu” jawab Amir. Sekitar lima menit keempat santri tersebut menunggu “macan” menyelesaikannya berdoa. Mereka menghampirinya dan menyampaikan apa yang dikatakan kiai Fauzan, diketahui nama orang tersebut adalah Mahfud, dia berasal dari Rembang.

Saya sebagai abdi ndalem kiai Fauzan mengatarkan Mahfud sowan. Setelah mempersilahkan duduk, saya matur kepada kiai, bahwa “macan” tadi sudah berada di ruang tamu. Kemudian saya disuruh untuk membuatkan minuman untuk Mahfud.

Ketika saya menyuguhkan minuman, saya mendengar kiai Fauzan berkata “pulang saja, kamu tidak membutuhkan pesantren ini”. Lagi-lagi kiai Mahfud mengatakan hal yang aneh, saya hanya dapat berlalu setelah mengatarkan minuman untuk Mahfud, karena saya masih punya tanggung jawab menjaga koperasi.

***

“kenapa saya tidak boleh “nyantri” disini kiai?” tanya Mahfud. “karena kamu tidak membuuthkannya” jawab kiai Fauzan. Dengan wajah tenang beliau berulang kali mengatakan agar Mahfud pulang saja, sebelum di ruang tamu, kiai Fauzan pernah bertemu dengan Mahfud di serambi masjid tadi pagi. Kiai Fauzan mengatakan bahwa dia harus pulang, karena Mahfud tidak mengetahui bahwa orang yang tadi pagi berbicara dengannya adalah pengasuh pondok pesantren yang dia tuju, maka Mahfud hanya tidak menghiraukan omongan kiai Fauzan. Dia malah beriktikaf di masjid.

“apakah disini sudah tidak ada kamar kosong kiai? Saya tidak apa-apa tidur di masjid, asalkan bisa ikut ngaji kepada kiai” jawaban sekaligus pertanyaan Mahfud atas perintah kiai Fauzan. “bukan itu alasannya, kamu itu “macan”, jadi santri lain akan takut dan kabur jika melihat kamu” kiai Fauzan memberikan alasan. Mahfud hanya diam mengernyitkan keningnya, tidak mengerti kenapa bisa dikatakan macan. Padahal mahfud adalah seorang laki-laki yang bertubuh kurus, berpotongan rambut rapi. Dia terlihat seperti laki-laki yang lugu dan polos.

Kiai Fauzan keluar, beliau memanggil salah satu santri yang berada di aula. Beliau meminta untuk dipanggilkan Amir. Setelah Amir berada dihadapan kiai Fauzan dan Mahfud, Amir diminta untuk mengantarkan Mahfud pulang sampai di rumahnya. Tidak lupa kiai Fauzan memberi beberapa lembar ratus ribuan untuk ongkos perjalanan merka berdua.

Sebelum berangkat Amir diberi pesan oleh kiai Fauzan untuk mengatakan kepada orang tua Amir agar Mahfud dipondokan di pesantren kiai Arwani Kudus. Mahfud terlihat kecewa karena dia tidak diterima oleh kiai Fauzan, tidak ada yang mengetahui maksud dari kiai Fauzan. Beliau bahkan tidak pernah berkunjung ke Kudus.

Sepanjang perjalanan Amir dan Mahfud jarang berbicara. Amir tahu sebagai seorang yang ingin menuntut ilmu, tetapi tidak diperbolehkan langsung oleh pengasuhnya tanpa alasan yang jelas akan membuat bingung dan kecewa siapapun orangnya. Mereka berdua hanya hanyaut dalam lamunannya, langit yang tiba-tiba menjadi kelabu ketika memasuki kota Semarang membuat suasana diantara kedua santri tersebut tambah dingin.

Akhirnya ketika bus sampai di kota Kudus, Amir membuka obrolan. “kiai saya memang orangnya seperti itu kang, beliau seperti punya rencana lain untuk kamu”, kata Amir, “rencana apa?” tanya Mahfud, “sayapun tidak tahu” Amir sambil menggelengkan kepala, “sudah lakukan dulu saja, insyaallah nanti kamu mendapat jawabannya” imbuh Amir. Setelah itu suasana kembali dingin, seperti kedaan di luar bus yang tersiram air hujan.

Jalanan terlihat kering ketika laju bus melewati perbatasan Pati-Rembang. Berarti sebentar lagi mereka akan sampai di tujuan. Amir tidak memperhatikan Mahfud, dia ternyata tertidur, karena Amir tidak mengetahui akan turun dimana, Amir membangunkan Mahfud.

Meski masih agak mengkantuk, Mahfud mengatakan pada Amir agar nanti berhenti di daerah Sluke, di depan Indomart. Jarak mereka masih lumayan jauh dari daerah Sluke, namun Amir sudah mengatakan pada kernet bus untuk diturunkan di tempat yang dimaksud. Dengan begitu mereka nanti akan diingatkan  oleh kernetnya jika hampir sampai.

***

Seminggu setelah Mahfud diantarkan pulang oleh Amir, kiai Fauzan mengajak Amir untuk menunjukan jalan ke rumah Mahfud. Mungkin ini kenapa kemarin kiai memerintahkan saya untuk mengantarkan Mahfud pulang ke rumahnya, pikir Amir. Apalagi yang akan dikatakan beliau kepada Mahfud di rumahnya sendiri, sedangkan hanya tiga orang yang kesana. Kiai Fauzan, Amir, dan Rohmat supir kiai Fauzan.

Perjalanan Magelang-Rembang memerlukan waktu yang lumayan lama, setelah kurang lebih enam jam perjalanan rombongan kiai Fauzan sampai di rumah Mahfud. Kiai Fauzan menanyakan keberadaan Mahfud, diketahui setelah diantarkan pulang oleh Amir, keesokan harinya Mahfud berangkat menuju pesantran kiai Arwani Kudus. Kiai Fauzan tersenyum, beliau mengatakan “dia adalah macan”, orang tua Mahfud tidak kaget, mereka berdua bingung, karena sebelumnya mahfud telah menceritakan perihal itu.

“Maksudnya bagaimana kiai?” ayah Mahfud memina penjelasan, “Mahfud kelak mencani seorang ulama besar, keberanian dan kecerdasannya seperti seeokar macan, dia akan menjadi pemimpin ulama di daerah Jawa Tengah, bahkan Indonesesia” terang kiai Fauzan. “kenapa kiai tidak mau menerima putra kami menjadi santri panjenengan kiai?” tanya ibu Mahfud, “kiai yang pas untuknya adalah kiai Arwani, dalam mimpi saya beliaulah yang menjadi pawang dari macan tersebut, kelak suatu saat Mahfud akan datang lagi ke Magelang” jawab kiai Fauzan, “untuk apalagi kiai? Apakah untuk mondok di tempat kiai?” tanya ayah Mahfud, “saya tidak tahu untuk apa, tunggu saja nanti, kalian akan mendapat jawabannya sendiri” jawab kiai Mahfud. Setelah berbincang cukup lama, kiai Fauzan berpamitan, orang tua Mahfud mencoba menawarkan agar mereka menginap terlebih dahulu, besok baru pulang ke Magelang. Untuk menghormati orang tua Mahfud, kiai Fauzan mengiyakan penawaran itu.

Esok harinya kiai Fauzan pulang ke rumah setelah mengucapkan terima kasih dan berpamitan kepada keluarga Mahfud. Terlihat wajah yang berbeda dari orang tua Mahfud, wajah mereka terlihat seperti awan biru di langit, berbeda dengan kemarin, yang terlihat seperti mendung degan petir menyambar.

 

Catatan :

Terinspirasi cerita KH. Wahab Hasbullah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar