Sabtu, 26 Oktober 2013

Qona’ah fi Musibah

            Malam sudah begitu larut ketika suara motor Satria F perlahan memasuki gerbang pondok pesantren Darut Tauhid. Pesantren yang berada di gang sempit yang hanya dapat dilewati satu mbil saja yang tidak dapat dibuat simpangan. Seketika setelah mesin motor sudah tidak terdengar lagi keempat temanku keluar menyambut siempunya motor. Ternyata Irfan yang tadi mengendarai motor milik Jalal untuk membeli kopi di warung.
          Aku sendiri yang masih berada di aula pondok ikut menyusul keteras pondok. Menagih pesanan susu coklat hangat kesukaanku.  Tidak biasanya aku ikut begadang bersama teman-teman pengurus pondok pesantren. Entah ada sebersit fikiran yang menggangguku semenjak mentari terbenam.  Maka setelah minum susu coklat itu aku berfikir dapat membuatku kantuk.
          Berguling ke kiri dan kanan yang terus aku lakukan. Hingga mataku tertegun melihat satria F yang diparkir dua meter dari tempat aku tiduran.  Malam itu aku berencana meminjam sepeda motor Jalal untuk sekedar cari angin mengitari jalanan malam kota kretek. Setelah meminta ijin pada Jalal akupun bergegas mengambil jaket dan peci kedalam kamar, tidak tahan dengan hawa dingin kota kretek malam itu yang semakin dingin oleh fikiranku sendiri.
          Ketika hendak menstarter motor tiba-tiba Irfan memanggilku. Dia berencana menemaniku pergi jalan-jalan. Irfan mengingatkan agar motornya distarter di luar gerbang saja. Karena sudah jam satu dini hari, mengganggu para santri yang sedang tidur setelah sehari tadi sekolah dan mengaji. Dengan hati-hati aku tuntun motor tadi keluar gerbang. Ketika ingin menstarter motor tibi-tiba Irfan menwarkan agar dia saja yang mengendarai motor. Sementara aku akan diboncengnya.
          Irfan melihat raut wajah lesu pada diriku. Oleh karenanya dia dari pertama mengendarai mencoba mengajak aku bercanda. Meski kami berdua pergi tanpa tujuan yang jelas akan tetapi Irfan menghentikan laju kendaraan di alun-alun kota.  Mengajak aku duduk menghadap kearah gedung swalayan yang berada di sisi sebelah timur alun-alun kota. Tidak seperti biasanya malam ini alun-alun sepi. Padahal biasanya pada bulan ramadhan banyak para santri yang datang tengah malam untuk bermain bola disini. Fikirku bertanya keheranan pada Irfan.
          “Ayo yan, kita lanjut jalan”, ajak Irfan membuyarkan lamunanku.
          “kemana Fan?”, tanyaku.
          “Jalan saja, katanya mau jalan-jalan.” Jawab Irfan cepat.
          Aku langsung bangkit menghampiri Irfan yang sudah duduk diatas sepeda motor. Dari alun-alun simpang tujuh kudus kami berputar menuju jalan sunan kudus, sampai dipermpatan kojan laju kendaraan berbelok kearah kiri menuju pasar Bitingan. Dengan kecepatan rendah aku melihat sekeliling jalan. Berada di kanan jalan berdiri kokoh MA NU Mu’alimat Kudus.  Tidak terasa motor sudah sampai di pertigaan jalan, jika kearah kiri menuju pasar Bitingan, sedangkan belok kanan menuju daerah Ploso.
          Ternyata Irfan membelokkan satria F kearah kanan.  Entah apa yang membuat Irfan memecu sepeda motor dengan kecepatan tinggi, berbeda dengan yang tadi. Jalanan yang remang-remang dan sepi serta pemadangan makam Ploso sepanjang sisi kanan jalan yang membuat Irfan berbuat seperti itu. Atau ada hal lain. Aku tidak mau menanyakannya. Aku anggap biasa saja, karena ada yang bilang santri itu memang kalau naik motor kencang.
          Tiba-tiba saja Irfan menginjak rem motor ketika terlihat penunjuk jalan bertuliskan, belok kanan makam sunan kudus, lurus jepara, gebog. Yang sempat aku dengar terakhir bunyi klakson motor yang keras dan tidak henti-henti.
          “yan, riyan bangun” suara Irfan terdengar samar-samar sambil menepuk pipi kananku.
          Belum sadar sepenuhnya aku merasakan tangan kananku sakit banget seakan patah. Belum sempat aku menengok kearah kanan tiba-tiba Irfan mengucap lafadh tarji’. Lecet-lecet pada kaki dan tangan kiriku seakan tidak terasa, dikalahkan rasa yang teramat sakit pada tangan kananku.
          “Fan, tanganku kenapa?” tanyaku setelah Irfan mengucap lafadh tarji’.
          Irfan yang memegangi kepalaku hanya bungkam, malam itu memang keadaan jalan sepi tidak ada kendaraan berlalu lalang. Aku sendiri belum mengetahui dengan jelas kenapa tadi Irfan mengjak rem kuat-kuat. Yang masih aku ingat tubuhku tadi terasa melayang dan terpelanting kedepan. Sementara Irfan yang mengendarai motor ikut terseret Satria F hingga beberapa meter.
          Setelah memeriksa keadaanku, Irfan mengatakan bahwa tangan kananku patah. Hal itu yang menyebabkan sakitnya melebihi luka dibagian tubuhku yang lain. Aku sekarang duduk dipinggir jalan melihat Irfan mengambil motor yang berada sekitar sepuluh meter dari tempat aku berada. Dituntunnya sepeda motor itu kearahku.
          Setelah kami periksa terlihat bagian kenalpot motor penyok. Aku masih meringis kesakitan ketika Irfan memboncengku kembali ke pondok Darut Tauhid. Sekarang yang ada dalam benak kami berdua bagaimana nanti mengatakan kepada Jalal atas kejadian ini. Aku dan Irfan berharap Jalal akan mengerti, masalah motor aku dan Irfan sepakat untuk “patungan” memperbaikinya.
          Kami sudah mematikan mesin motor semenjak diluar gerbang. Karena tidak mau mengganggu santri yang lain. Disamping itu agar teman-teman yang masih terjaga tidak keheranan mendapati motor yang sudah ringsek hal ini kami lakukan karena kenolpot yang penyok membuat suara mesin motor berubah.
          Sepertiga malam terkahir yang sangat menyiksa, makan sahur aku titip kepada Jalal untuk dibungkuskan nasi. Entah rencana apa yang besok akan dilukakun ayah ketika mengetahui keadaanku sekarang. Apalagi ini bulan ramadhan, baru minggu awal ramadhan mendapat musibah seperti ini. Apakah tangan kananku sudah dapat dibuat berjabat tangan ketika hari idul fitri tiba.
          Pergi untuk bersilaturrahmi kepada sanak saudara, teman dan para guru. Tradisi hari raya. Apakah tangan kananku dapat sembuh, padahal biasanya patah tulang satu bulan.
          Ketika adzan subuh berkumandang, aku tidak dapat menengadahkan kedua tanganku untuk mengambil air wudlu, meski kesusahan untuk wudlu aku masih bersyukur tangan kiriku masih dapat berfungsi dengan baik. Sekedar untuk mengambil air wudlu.
          Setelah menunaikan sholat subuh, aku kembali kekamar tidak ikut kajian tafsir jalalain di masjid menara Kudus. Bertadarus alqur’an yang aku lakukan. Sekitar jam setengah enam pagi aku dipanggil salah seorang santri, diberitahu ada seorang bapak-bapak yang mencariku. Mungkin ayah sudah sampai, setelah menerima sms dariku ketika sahur tadi.
          Sebenarnya di Darut Tauhid para santri dilarang keras membawa alat telekomunikasi. Jika diketahui oleh pangasuh pesantren langusng disita, dikembalikan jika orang tua wali yang mengambilnya. Akan tetapi peraturan tersebut agak longgar ketika bulan ramadhan, meski masih dengan sembunyi-sembunyi.
          Shodaqollahul’adzim, aku segera bergegas menuju teras pondok untuk menemui ayah. Beliau pasti sangat hawatir mengetahui kecelakaan tadi malam. Rencananya aku nanti dengan ayah akan menghadap pengasuh pesantren meminta ijin untuk pemulihan keadaanku.
          Aku tidak ingin menanyakan perihal yang sebenarnya terjadi tadi malam, yang mengakibatkan kecelakaan kepada Irfan. Melihat keadaanku seperti ini aku tidak mau Irfan merasa lebih bersalah. Biarlah ini menjadi urusank sendiri. Karena aaku sendirilah yang meminjam motor untuk sekedar mencari angin malam.
          Kini aku telah berada di depan ayah. Dengan tangan kanan melengkung kebelakang, ayah melihatnya merasa miris. Hal itu terlihat dari raut wajah ayah yang penuh akan kekhawatiran.
          Ayah hanya menanyakan kronologi kecelakaan yang aku alami tadi malam. Ayah tidak ingin kesembuhanku lebih lama, oleh karenanya ayah langsung mengajakku sowan ke ndalem pengasuh pesantren. Tidak menunggu lama pengasuh menemui kami, sesaat setelah abdi ndalem pesantren mempersilahkan kami untuk duduk.
          Setelah mengutarakan tujuan untuk meminta ijin kepada pengasuh, suasana sejenak hening. Ruang tamu yang lebar membuat suasana menambah dingin. Tiba-tiba suara pengasuh pesantren memecah keheningan, beliau menanyakan kronologi kejadian yang tadi malam aku alami. Setelah aku ceritakan beliau mendoakan untuk kesembuhanku, sehingga dapat kembali secepatnya ke pondok untuk ikut bisa belajar kembali dan menjalankan tugas sebagai salah satu pengurus pesantren.

----
          Mobil yang ayah kendarai tidak menuju ke rumah sakit, mengambil jalur menuju makam Krapyak jalur gebog. Entah kan dibawa kemana aku ini. Berobat alternatif yang ada dalam benakku, bukan dokter sepesialis tulang. Seketika terbayang tempat pedesaan dengan raut wajah sangar, dengan minyak oles untuk pijat urut. Metode yang digunakan pun pasti terkesan sadis. Maka, aku beranikan diri bertanya kepada ayah akan berobat kepada dokter atau dukun pijat.
          Sangkal Putung mbah Jasri Yan. Jawaban singkat dari ayah sudah cukup untuk membuatku keder. Ternyata tempat yang sudah terkenal untuk patah tulang. Dari cerita teman-teman sekolah tempat tersebut tidak memperbolehkan pasiennya pulang sebelum sembuh total. Disamping itu, setelah sembuh pasien akan digundul, betapa aku akan sangat malu jika kembali ke pesantren dalam keadaan gundul. Dikira habis kena ta’ziran PS atau internetan, padahal aku di pesantren merupakan pengurus yang sejatinya menjadi panutan.
          Bulan ramadhan tahun ini akan ada suasana berbeda, mungkin akan menjadi suasana terburuk. Tidak ada keluarga tidak ada teman. Bulan ramadhan yang biasa aku isi dengan kajian kitab-kitab salaf akan berubah menjadi terapi setiap hari untuk memulihkan tangan kanan.
          Sekita r empat puluh menit dalam perjalanan ayah memarkir mobil disebuah bangunan yang lumayan besar. Dihalaman bangunan tersebut tertulis nama yang tadi dikatakan ayah. Setelah turun dari mobil aku menuju bangku panjang yang berada didepan sebuah ruangan. Sedangkan ayah menuju pendaftaran pasien untuk mendaftarkan aku.
          Karena suasana yang masih pagi tempat tersebut masih terlihat lengang, belum banyak orang yang beraktifitas. Ketika aku masih menunggu ayah tiba-tiba ada seorang pasien lagi yang datang. Aku lihat dari kejauhan seorang bapak memboncengkan anak perempuannya. Aku taksir usianya sekitar 18 tahun sama seperti aku.
          Apakah dia juga patah tulang, dengan seksama aku perhatikan tidak ada yang sakit dari gadis tersebut. Masih bisa berjalan dengan lancar. Kedua tangannya kelihatan baik-baik saja. Terus siapa yang akan berobat kesini. Atau mungkin bapak tersebut, tapi tidak mungkin bapak tersebut, jika bapak itu patah tulang pastinya tidak dapat mengendarai sepeda motor apalagi dengan membonceng seseorang.
          Kenapa aku jadi berfikir tentang gadis itu, apa kau terpesona dengan dirinya. Ah tidak, segera saja kubuang fikiran tersebut. Setelah ayah mendaftar aku dibawa menuju sebuah ruang, didalam ruang tersebut sudah duduk lelaki paruh baya, dia menyambut kami dengan senyum.
          Dalam benakku apakah dia yang biasa dipanggil “Mbah Jasri”. Mungkin saja lelaki ini.
          “yang patah apanya mas?” tanya Mbah Jasri.
          “tangan kanan pak.” Jawab aku singkat.
          Setelah tangaku diperiksa oleh Mbah Jasri, beliau hanya menyarankan untuk beristirahat dulu. Besok baru akan dimulai pengobatannya. Jadi untuk tahap selanjutnya aku akan menginap disini. Setelah ayah memberi uang saku secukupnya, aku ditinggal pulang oleh ayah.
          Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sangat menderita. Dengan metode pengobatan yang berbeda tanganku seakan lepas dari tubuhku. Entah bisa sembuh atau tidak. Meski sudah satu minggu menjalani terapi pemulihan disini. Metode klasik dengan diurut dan diarik mulai dari punggu sampai dengan pergelangan tangan. Hal itu dilakukan setiap hari. Karena seringanya terapi ini aku lakukan kelamaan ras sakit itu sedkit demi sedikit mulai berkurang. Entah apakah ini menunjukan perkembangan positif bagi kesembuhanku atau memang rasa sakit itu telah berubah menjadi hal yang biasa bagiku.
          Sudah hampir setengah bulan akau berada disini. Perempuan yang aku lihat pada awal aku mendaftar tidak pernah aku lihat. Apakah dia sanak saudara dari pemelik pengobatan ini, mungkin dia hanya berkunjung. Ah... kenapa aku kembali teringat dengan gadis itu. Setiap hari aku memandang kelokasi pengobatan perempuan tapi, tidak pernah aku jumpai sosok gadis itu.
          Seperti biasa setelah selesai pengobatan aku bertadarus di mushola yang disediakan sambil menunggu adzan dhuhur. Setelah selesai menunaikan ibadah sholat dhuhur hari ini aku ingin langsung kembali ke aula. Rasanya mengantuk sekali. Ketika akan kembali ketempat aku menaruh sandalku, aku tidak menemukan alas kaki yang biasa aku pakai berada pada tempatnya. Aku mengitari serambi mushola sembari berharap menemukan sandalku berada disalahs atu sudut mushola. Mungkin sandalku tertendang oleh pasien lain yang tergesa-gesa mengambil sandalnya.
          Ketika melihat sandal sebelah kanan aku bergegas mengambilnya. Tidak melihat bahwa ada orang yang berjalan menuju arah yang sama dengan sandalku berada. Akhirnya kami berdua bertabrakan. Aku tidak terjatuh, tapi orang yang aku tabrak dia tersungkur terduduk dilantai. Ternyata yang aku tabrak adalah seorang perempuan. Secepat mngkin aku menolongnya serta meminta ma’af atas kecerobohanku.
          Betapa terkejutnya aku, perempuan berkerudung biru ini ternyata gadis yang aku lihat dihalaman dulu. Aku melihat dia meringis kesakitan memegangi tangan kirinya, ketika jatuh tadi mungkin saja tangan kirinya yang menyentuh lantai dahulu.
          “Ma’af mbak atas kecerobohanku, mbak ada yang sakit?” sepontan kalimat itu keluar, aku merasa sangat bersalah telah menabrak dirinya.
          “Tidak apa-apa mas, hanya tangan kiriku memang belum sembuh betul, tadi ketika benturan masih sakit sedikit, tidak usah khawatir”. Jawaban gadis itu sedikit melegakanku.
          Setalah kami berdua duduk ditangga depan mushola kami berbincang-bincang sebentar. Aku ketahui ternyata namanya Dewi Anisa Rahma, biasa disapa Anisa. Dia juga pasien diklinik ini. Setelah dia berpamitan untuk kembali keasrama, aku kembali melanjutkan pencarian sandalku. Ternyata yang ada sebelah kiri, sandala sebelah kanan hilang. Mungkin siang ini bisa apes bisa juga untung. Dalam hatiku mengeluh sendiri.
          Tiba-tiba ada seseorang yang membuyarkan lamunanku. Kenapa mas Riyan, sandalnya hilang ya. Ternyata Anisa memperhatikanku mencari sandalku. Dia tadi hendak mengambil mukena yang terlupa bahwa masih dipakai sholat oleh seorang temannya. Sehingga membuatnya melangkah kembali ke mushola.
          “Iya mbak, tinggal sebelah saja, yang kanan hilang”. Jawabku dengan nada lesu.
          “disini memang sering yang kehilangan”. Cerita Nisa.
          “Biasanya saya disini belum pernah kehilangan, baru kali ini. Padahal aku biasa pulang belakangan mbak”. Jawabku menerangkan.
          “Wah belum rizkinya mas ungkin hari ini”. Sahut seorang perempuan dari arah belakang sambil tertawa kecil.
          “Hush... jangan begitu Fa, mungkin mas Riyan baru dicoba kesabarannya”. Jawab Anisa.
          “Oh namanya Riyan ya Nis?” tanya Ifa kepada Anisa sambil melihat kerahku.
          Aku yang berada disamping hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Ifa yang sejatinya bukan ditujukan kepadaku.
          “Duluan ya mas, beli saja yang baru mas. Di depan ada warung yang menjual sandal , tapi bukan sandal seperti punya mas, adanya sandal jepit mas” kata Anisa sambil berpamitan meninggalkan aku yang masih duduk diserambi masjid.
          Semenjak pertemuan itu kini aku semakin sering bertemu dengan Anisa ketika selesai sholat berjama’ah. Dari cerita Anisa dia berasal dari daerah Dawe, sebenarnya Anisa mendapatkan patah tulang akibat kecelakaan yang dia alami ketika pulang sekolah. Meski tidak parah ada luka yang serius hanya pergelangan dan beberapa jari tangan kanan Anisa tulangnya ada yang bergeser. Oleh karenanya Anisi sekrang berada disini, mengalami nasib yang mirip denganku. Bedanya luka yang aku derita akibat kecelakaan lebih parah.
          Meski kami berdua sering berjumpa tapi kami jarang ngobrol berlama-lama. Dimataku dia merupakan perempuan sholehah, menjaga dengan baik kehormatan sebagai seorang perempuan. Perbincangan terakhir dengan Anisa bahwa dia bisa kembali kerumah besok pagi. Tangan kanannya sudah dinyatakan sembuh oleh pihak klinik. Aku sempatkan untuk bertukar nomor HP dengan Anisa. Meski sedikit sedih karena aku tidak bisa berjumpa dengan Anisa seperti hari-hari biasa tapi aku bersyukur Anisa sudah sembuh. Tidak lagi menjalani pengobatan yang bagiku sendiri menyakitkan.
          Aku sendiri diperkirakan sembuh lima hari sebelum lebaran. Aku bersyukur lebaran tahun ini masih dapat berkumpul dengan keluarga. Meski dapat berkumpul dengan keluarga pada momen lebaran, mungkin aku akan malu dengan para sanak saudara. Seperti biasanya setelah sembuh para pasien laki-laki akan dipotorng gundul oleh pihak klinik.
          Lebaran yang tidak akan terlupakan dengan penampilan yang belum pernah aku perlhatkan sebelumnya. Bagi kalangan teman-teman aku akan dianggap menjadai santri yang terkena ta’ziran penggundulan, bahkan dapat jadi bahan ejekan. Tapi tidak apalah, dari tempat ini juga aku kenal dengan sosok perempuan yang dimasa seperti ini sudah jarang ditemui.
          Setelah menjalani tahapan pengobatan, aku dijemput oleh ayah dan ibu. Praktis selama bulan ramadhan tahun ini aku tidak sekolah seperti biasanya. Ayah dan ibu membawaku ke pasar swalayan, kata ibu hanya aku yang belum membeli baju dan sebagainya untuk dipakai dihari raya.
          Semenjak kenal dengan Anisa aku belajar kesederhanaan dari dirinya. Apakah aku mulai tertarik dengan dirinya. Takbir kini sudah mulai menggema ketika matahari terbenam diufuk barat. Pelantang saura yang dipasang disurau maupun masjid seakan bersahutan mengagungkan asma Allah.
          Aku mengirim pesan singkat ke Anisa, pesan it berisi apakah boleh jika aku bersilaturrahmi kerumahnya. Untuk memastikan apakah orang tuanya mengijinkan jika ada teman laki-laki yang bertamu kerumahnya.
          Selang beberapa saat aku mendapat balasan yang berisi boleh bersilaturrahmi. Maka aku berencana akan ke Dawe pada hari raya kedua. Besok adalah bersilaturrahmi kesanak saudara baik dari keluarga ayah maupun ibu.
          -#
          Hari ini aku beranikan diri untuk bersilaturrahmi ke rumah Anisa. Setalah diberi rute menuju rumahnya, aku tidak kesulitan menemukan desa tempat tinggalnya.  Ternyata dia adalah tetangga temanku, aku menyempatkan ntuk mampir kerumah temanku terlebih dahulu. Dalam perbincangan dengan Ari aku menanyakan perihal Anisa, dari dia aku semakin yakin tentang kepribadian yang sholehah.
          Setelah berpamitan pulang aku diberi tau tepatnya rumah Anisa oleh Ari. Tidak jauh dari rumah Ari, sejurus kemudian aku sudah berada didepan rumah Anisa. Aku tidak lantas mengetuk pintu rumah, aku menelpon Anisa dahulu, supaya dia keluar rumah. Sedikit rikuh, meski dilingkungan sekitar tidak ada yang mengenalku, tapi aku merasa bahwa tidak sepantasnya seorang santri bertamu kerumah seorang perempuan.
          Kedua orang tuanya juga ikut keluar menemuiku. Tapi hal itu tidak berlangsung lamakami ditinggal untuk sekedar berbincang-bincang ringan, karena orang tua Anisa masih mempunyai pekerjaan yang belum selesai.
          Aku sendiri tidak alam bersilaturrahmi di rumah Anisa. Tidak etis juga seorang laki-laki yang bukan mahramnya berlama-lama di rumah seorang perempuan. Setelah berpamitan Anisa mengantarku sampai di halaman rumah.
          Dari perbincangan tadi aku diberitahu bahwa rencana Anisa setelah lulus MA ingin nyantri tetapi ibunya melarang, beliau ingin Anisa kuliah di STAIN Kudus saja. Orang tuanya menginginkan agar Anisa dapat membantu ibunya dalam mengurus usaha krupuk kering.
          Semakin hari rasa yang berkecamuk dalam hatiku semakin menggelora layaknya air bah yang menghancurkan bendungan. Apakah ini hanya ras kekaguman atau ini merupakan rasa cinta. Tetapi aku tidak yakin bahwa ini rasa cinta yang benar-benar berasal dari hati, cinta suci yang tidak terpengaruh oleh hawa nafsu. Tidak terasa bahwa perkenalanku beberapa bulan yang lalu seperti aku rasakan baru kemarin. Kini kami berdua tiba diambang ujian nasional. Dimana kesibukan aku dan Anisa tidak seperti dahulu. Apakah hubungan baik seperti ini masih dapat terjalin, atau kesibukan masing-masing akan membuat jarak diantara kita.
          Meski aku dahulu berkeinginan kuat untuk melanjutkan belajarku dibangku perkuliahan, tiba-tiba rencana itu berubah ketika Anisa mengungkapkan keinginanya untuk menghafal Al qur’an. Meski sulit terwujud dikarenakan kehendak orang tuanya. Mulai saat hari pengumuman kelulusan itulah aku menguatkan tekad untuk kejenjang Pesantren.
          Awalnya kedua orang tuaku kaget akan keputusan yang aku ambil. Tetapi setelah aaku beri pengertian beliau mengerti. Untuk bekal awal sebelum Pesantren membuka pendaftaran santri baru. Libur ujian aku mengikuti kilatan di Podok Pesnatren Amtsilati Jepara. Aku berada di Amtsilati sekitar dua bulan dan pulang kembali tiga hari sebelum lebaran idul fitri.
          Lebaran kedua aku sempatkan untuk bersilaturrahmi ke rumah Anisa. Sekaligus berpamitan kepadanya, aku menyampaikan hasratku ingin nyantri di Jawa Timur, entah Kediri, Jombanag atau yang lainnya. Mungkin setelah masuk pesantren aku tidak bisa leluasa berkomunikasi seperti dulu. Ketika aku menyampaikan hal itu, aku sempat menangkap raut wajah kekecewaan pada Anisa.
          Seperti ketika pertama kali aku bertamu kerumahnya, tidak lama aku disitu. Aku sendiri akan berangkat ke pesantren setelah lebaran ketupat. Aku sempatkan berpamitan sekali lagi kepada orang yang menunjukan arti kesederhanaan. Perempuan yang dapat memberi warna lain dalam hidupku. Aku tidak ingin rasa yang berkecamuk dalam hatiku akan menjadi bumerang bagiku kelak. Jika rasa ini datang dari Allah, aku percaya dia akan diperuntukan bagiku. Jika memang hanya nafsu belaka mungkin akan ditunjukan jalan yang terbaik bagiku. Niat menuntut ilmu agama insyaallah adalah salah satu cara agar aku dapat membedakan diantara keduanya. Amien ...
Oleh : M. Hasan S
NB: terinspirasi dari kisah nyata seorang pelajar, namun telah dimodifikasi.

Tertulis 9 Februari 2013

6 komentar:

  1. jooos tapi agak panjang jadi radarada males bacanya.. hehe

    BalasHapus
  2. heheh, wah bisa dipanjangin lagi padahal bang

    BalasHapus
  3. yang masalah sama motornya jalal itu gmna endingnya? masih penasaran penyelesaian dari Authornya....
    tapi keseluruhan Like it...jempol dech

    BalasHapus
  4. kan udh digandel mb bro ama teman yg satunya jd udh clear

    BalasHapus